Hampir semua pemicu tawuran massal, adalah masalah-masalah sepele. Sebagian besar peristiwa tawuran massal, berawal dari adanya perasaan tersinggung (tidak terima) sekelompok warga karena diejek oleh anggota kelompok warga lainnya : saat berpapasan di jalan, saat menonton atau sedang bertanding sepak bola, dll.
Sedangkan penyebab aksi
tawuran antar warga lainnya, berhubungan dengan masalah ekonomi
(masalah utang-piutang, perebutan pengelolaan lahan perparkiran,
perebutan tempat untuk lokasi berjualan, perebutan kawasan mengompas,
dll.) serta adanya permasalahan pribadi yang kemudian berkembang menjadi
masalah komunal.
Adanya
upaya untuk mencegah terjadinya aksi tawuran antar warga sendiri,
bukanlah suatu perkara mudah. Inti dari persoalan yang memicu terjadinya
tawuran, tidak lagi jelas. Sejumlah pihak bahkan mengatakan, akar
permasalahannya sudah ada sejak lama, bagaikan rasa dendam yang tidak
pernah usai. Sedikit saja ada gesekan, peristiwa tawuran antar warga
bisa langsung pecah (sulit dicegah).
Meskipun
masih disekitaran wilayah yang sama, namun lokasi tawuran tidak hanya
di titik-titik lokasi tertentu saja, serta tidak mengenal batasan waktu
dan lokasi favorit. Contohnya, aksi tawuran antar warga di daerah Johar
Baru, yang bisa terjadi pada pagi hari atau malam hari.
Bahkan,
keberadaan ratusan aparat kepolisian bersenjata lengkap yang
berjaga-jaga di seputar lokasi tawuran di Pasar Rumput, tidak
menyurutkan “niatan” warga untuk tetap tawuran, bahkan tawuran masih
berlanjut keesokkan harinya.
Dalam
rangka mengantisipasi dan mengurangi aksi tawuran antar warga di Johar
Baru, pihak Pemda DKI Jakarta memasang sejumlah perangkat CCTV di
sejumlah lokasi strategis. Pemasangan sejumlah “kamera pengintai”
tersebut dimaksudkan untuk mempercepat kedatangan pihak aparat keamanan
di lokasi, pada saat tawuran akan terjadi atau baru saja terjadi.
Selain
itu, hasil rekaman gambar yang diperoleh dari “kamera pengintai”, akan
dipergunakan untuk membantu aparat kepolisian dalam mengidentifikasi,
menindak, dan mengamankan para provokator serta para pelaku aksi
tawuran.
Keputusan
untuk memasang “kamera pengintai” diambil karena nampaknya, Pemda DKI,
para tokoh masyarakat setempat, serta aparat kepolisian, masih belum
menemukan formulasi yang tepat, untuk mencegah terulangnya kembali aksi
tawuran antar warga.
Padahal,
aksi tawuran antar warga bisa dicegah agar tidak terulang kembali,
apabila warga diberikan ruang untuk berekspresi dan berkreasi.
Apabila
pihak Pemda DKI Jakarta mau memfasilitasi adanya suatu wadah kegiatan
bagi warga untuk bisa menyalurkan segenap bakat, kemampuan, serta minat
warga pada suatu bidang usaha maupun ketrampilan tertentu, kiranya akan
mendorong warga untuk tidak lagi berkeliaran atau “nongkrong” di pinggir jalan.
Berdasarkan
hasil penyelidikan aparat kepolisian, aksi tawuran di sejumlah lokasi
di Jakarta, sengaja diciptakan oleh para bandar serta pengedar narkoba
yang “beroperasi” atau tinggal di seputar lokasi tawuran, untuk
menghindar dari kejaran polisi yang akan menangkap mereka. Saat tawuran
terjadi, mereka langsung melarikan diri.
Rata-rata
para pelaku aksi tawuran berasal dari keluarga miskin. Kemiskinan
membuat mereka tidak memiliki kemampuan keuangan memadai untuk memiliki
modal membuka usaha atau melanjutkan sekolah mereka ke jenjang yang
lebih tinggi.
Keterlibatan
sejumlah warga dalam perdagangan narkoba, ditengarai sebagai upaya
masyarakat agar bisa bertahan hidup, dengan memperdagangkannya atau
menjadi kurir dari para bandar.
Sebaik
apapun upaya mediasi dilakukan, tidak akan membawa banyak manfaat
apabila pemerintah tidak berupaya semaksimal mungkin agar warga dapat
terlibat dalam berbagai kegiatan positif dan produktif, dengan
memfasilitasi kebutuhan warga sehingga mereka dapat meningkatkan
kapasitas serta kualitas hidup mereka.
Tawuran
seharusnya tidak menjadi fenomena atau dinamika dalam kehidupan
masyarakat di ibukota, apabila Pemda DKI Jakarta jeli dalam menyikapi
adanya masalah sosial besar yang menjadi latar belakang penyebab
terjadinya serangkaian aksi tawuran antar warga.
Masalah
sosial mengemuka, karena rendahnya tingkat kesejahteraan anggota
masyarakat kota, yang kerap melakukan aksi tawuran. Oleh sebab itu,
Pemda DKI Jakarta harus memberdayakan warganya, dengan menghadirkan
wadah-wadah kegiatan yang bisa dipergunakan warga untuk berekspresi dan
berkreasi. Bagaimanapun, tawuran hanya akan menimbulkan banyak kerugian,
bukan manfaat.
Apabila
kehidupan warga dapat lebih diberdayakan, kecil kemungkinan bagi warga
untuk tidak hidup tertib, karena kualitas lingkungan serta kehidupan
mereka, sudah jauh lebih baik.
Warga
miskin kota adalah bagian dari kehidupan masyarakat kota. Keberadaan
mereka tidak akan menimbulkan polemik berkepanjangan, apabila pemerintah
dapat menghadirkan ruang berkegiatan bagi mereka, sehingga mereka dapat
melepaskan diri dari tekanan hidup, terutama lagi, menutup peluang
adanya pola pemikiran serta perilaku yang destruktif, anarkis, dan tidak
bersahabat dengan lingkungan disekitarnya.
Upaya
pencegahan harus diikuti dengan adanya keinginan pemerintah untuk
membangun warganya agar dapat hidup lebih bermartabat, tidak lagi liar
dan mudah tersinggung. Jika arah kehidupan dirasakan lebih jelas serta
terarah, niscaya, keinginan untuk tawuran akan hilang dengan
sendirinya. sumber: http://sarlenjm.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar